Ads

Random Posts

Powered by Blogger.

BERITA

SUDUT ILMIAH

POSTER

PHOTO

Racing

News

POSTER



1. Mimpi Tentang Imam Bukhari 
Beliau adalah seorang imam terkemuka ahli hadits. Namanya adalah Muhammad bin Ismail Al Bukhari. Gelarnya adalah Amirul Mukminin fil Hadits yang artinya Pembesar Kaum Mukminin dalam ilmu hadits. Beliau mengarang kitab yang seluruhnya berisi hadits-hadits shahih. Beliau wafat pada tahun 256 H.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf Al Fibrari, ia berkata, ‘Aku mendengar Najm bin Fadhil, seorang ahlul ilmi berkata, “Aku bermimpi melihat nabi SAW keluar dari kota Masiti, sedangkan Muhammad bin Ismail Al Bukhari berada di belakangnya, dimana bila nabi SAW melangkahkan kakinya, Al Bukhari pun melakukan hal yang sama dan meletakkan kakinya di atas langkah nabi SAW dan mengikuti bekas langkahnya.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Muhammad bin Makki, ia berkata, “Aku mendengar Abdul Wahid bin Adam Ath-Thawwisi berkata, ‘Aku mimpi bertemu Rasulullah SAW dan sekelompok sahabatnya, beliau sedang berhenti di suatu tempat, maka aku mengucapkan salam dan beliau menjawabnya. Aku bertanya, ‘Kenapa engkau berhenti, Ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhari.’ Dan setelah beberapa hari datang berita kepadaku tentang wafatnya Al Bukhari. Setelah aku perhatikan, ia wafat pada waktu aku mimpi bertemu Rasululah SAW.”

2. Mimpi Utsman bin Affan r.a. Beliau adalah Khalifah Rasyidin, Pemimpin Kaum Muslimin yang mendapat petunjuk yang ketiga. beliau memiliki gelar Dzun Nurain karena menikahi dua putri nabi SAW yang salah satunya setelah yang lain meninggal. Beliau wafat pada tahun 35 H.Diriwayatkan dari Ummu Hilal binti Waki’, dari seorang istri Utsman, ia berkata, “Suatu kaum akan membunuhku.” Maka aku berkata, “Tidak, wahai Amirul Mukminin.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya aku bertemu Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar di dalam mimpi. Maka mereka berkata, “Berbukalah bersama kami malam ini.” atau mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu akan berbuka bersama kami malam ini.”

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam, ia berkata, “Aku datang kepada Utsman untuk menyalaminya, sedangkan ia dalam keadaan dikepung. Aku masuk menemuinya, maka ia berkata, “Selamat datang wahai saudaraku. Aku melihat Rasulullah SAW tadi malam di pintu kecil ini. Ia berkata, “Pintu kecil itu ada di dalam rumah.” Maka beliau (nabi) berkata, “Wahai Utsman, apakah mereka telah mengepungmu?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah mereka telah membuatmu haus?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau menuangkan cawan besar yang berisi air, kemudian aku meminumnya sampai kenyang, sampai-sampai aku merasakan dinginnya di antara dada dan pundakku. Dan beliau SAW berkata, “Jika kamu mau, berbukalah di rumah kami. Maka aku memilih berbuka di rumah beliau  SAW. Maka kata Abdullah bin Salam, Utsman dibunuh pada hari itu.
(Thabaqat Ibnu Saad & Tarikh, Ibnu Asakir).
3. Mimpi Umar bin Khattab r.a.
Beliau adalah Pemimpin Kaum Muslimin setelah Sayyidina Abu Bakar Shiddiq wafat. Gelarnya adalah Al Faruq yang artinya pembeda antara yang haq dan yang bathil. Beliau wafat pada tahun 23 H.
 Diriwayatkan dari Umar bin Hamzah bin Abdullah, dari pamannya, Salim dari bapaknya, Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW di dalam mimpi, dimana aku melihat beliau sedangkan beliau tidak memandangku. Maka aku berkata, “Ya Rasulullah, kenapa aku?” Beliau bersabda, “Bukankah kamu yang mencium istrimu pada saat kamu berpuasa?!” Maka aku berkata, “Demi Yang Mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan mencium istriku lagi setelah ini saat aku berpuasa.”
(Al Mahalli, Ibnu Hazm).
4. Mimpi Ali bin Abi Thalib r.hum.
Beliau adalah adik sepupu Rasulullah SAW sekaligus menantunya dan termasuk orang yang pertama masuk islam dari kalangan anak-anak. Beliau adalah Khalifah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Julukannya adalah Abu Turab. Beliau wafat pada tahun 40 H setelah beberapa hari terluka karena tikaman Ibnu Muljam.
Muhammad Sa’ad menceritakan sebuah riwayat dari Ali ra. Ali berkata, “Sesungguhnya aku pada malam itu (yaitu saat Ibnu Muljam membunuhnya pada pagi harinya) membangunkan keluargaku, kedua mataku menguasaiku hingga aku tertidur saat aku duduk. Maka aku melihat Rasulullah SAW. Dan aku bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa aku menemukan di antara ummatmu orang-oran yang bengkok dan suka bertengkar?” Rasulullah SAW berkata, “Doakanlah atas mereka.” Maka aku berdoa,” Ya Allah, gantikanlah perlakuan mereka terhadapku dengan yang lebih baik bagiku. Dan gantikanlah yang lebih buruk untuk mereka.”
(Thabaqatul Kubra & Al Manaamat, Ibnu Abi Dunya).
5. Mimpi Hasan bin Ali r.hum Beliau adalah  cucu Rasulullah SAW serta pemuka para ahli surga. Beliau wafat sebagai syahid.
Diriwayatkan oleh Filfilah Al Ja’fi, ia berkata, “Aku mendengar Hasan bin Ali ra. berkata, “Aku melihat nabi SAW bergelantung di atas Arsy, dan aku melihat Abu Bakar ra. memegang kedua pinggang nabi SAW serta melihat Umar ra. memegang kedua pinggang Abu Bakar ra. dan juga melihat Utsman ra. memegang pinggang Umar ra. serta melihat darah bercucuran dari langit ke bumi.” Maka Hasan menceritaka mimpi ini pada orang di sekelilingnya (kaum syi’ah), maka mereka bertanya, “Tidakkah kau melihat Ali?” Hasan menjawab, “Tidak seorang pun yang paling suka aku melihatnya memegang kedua pinggang nabi SAW daripada Ali. Akan tetapi ini adalah sebuah mimpi.”
Dari Ishak bin Rabi’, ia berkata, “Ketika kami sedang di sisi Hasan, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata, ‘Wahai Abu Said, sesungguhnya semalam aku melihat nabi SAW di dalam mimpi. Nabi SAW berada di tengah-tengah Murjiah Bani Salim dalam khalayak ramai, dan diatasnya jubah musim dingin, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, Hasan akan datang. Beliau bersabda, ‘Katakanlah kepadanya, beritakanlah kabar gembira, kemudian beritakanlah kabar gembira, kemudian beritakanlah kabar gembira.’ Maka mata Hasan bercucuran air mata, dan ia bersabda, ‘Semoga Allah menetapkan matamu. Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, maka ia sungguh telah melihatku, dan syetan tidak dapat menyerupaiku.’”
(HR Thabrani & Al Manaamat, Ibnu Abi Dunya).
6. Mimpi Husein bin Ali r.hum Suatu hari Husein bin Ali sedang duduk di depan rumahnya sambil memeluk pedangnya. Ketika ia menundukkan kepalanya, saudarinya, Zainab binti Ali mendengar suara teriakan. Ia mendekati saudaranya, seraya berkata, “Wahai saudaraku, tidakkah kamu mendengar suara keributan telah mendekat?” Maka Husein mengangkat kepalanya dan berkata, “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW di dalam mimpiku dimana beliau berkata padaku: ‘Sesungguhnya kamu menuju kepada kami.’ Maka saudarinya itu menjadi bersedih dan berkata, “Alangkah celaka aku!” Maka Husein berkata, “Kamu tidak celaka, wahai saudariku, tempatkanlah kasih sayangmu dengan Allah Yang Maha Pemurah.”Tak lama, Husein gugur di padang Karbala. Seluruh keluarganya habis terbantai, kecuali seorang anaknya yang bernama Ali yang berhasil diselamatkan oleh Zainab. Ya Allah, Beri Kami Kekuatan untuk Menghidupkan Sunnah – Sunnah Beliau saw. !7. Mimpi Abu Musa Al Asy’ari r.a.  Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW dari suku Tamim. Beliau juga seorang ahli fikih dan qira’at.
Diriwayatkan oleh Abu Musa , beliau berkata, “Aku melihat Rasulullah di dalam mimpi sedang berada di atas gunung. Di sampingnya Abu Bakar. Dan beliau (Rasulullah)  sedang mengisyaratkan Umar untuk datang kepadanya.” Maka aku mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan ternyata benar, Amirul Mukminin Umar bin Khattab wafat!” Ia (Abu Musa) ditanya, “Tidakkah kamu menulisnya (mimpi) itu kepada Umar?” Maka Abu Musa berkata, “Tidak selayaknya aku mengucapkan berbela sungkawa kepada Umar (karena Umar akan bertemu Rasulullah SAW).”
(Ar Riyadhun Nudhrah fi Manaqibil Asyrah).
8. Mimpi Huzaimah bin Tsabit r.a.

Beliau adalah seorang sahabat Rasulllah SAW. Ia diistimewakan karena kesaksiannya setara dengan kesaksian dua orang. Beliau termasuk di dalam pasukan Ali dan memperoleh kemuliaan syahid saat perang Shiffin.
Diriwayatkan oleh Utsman bin Sahl bin Hanif  dan Khuzaimah bin Tsabit, “Bahwa ia bermimpi mencium dahi nabi SAW. Kemudian ia mendatangi Rasulullah SAW lalu ia menceritakan mimpinya tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mempersilahkannya, lalu ia pun mencium dahi Rasul.”
(Musnad Imam Ahmad).
9. Mimpi Bilal bin Rabah r.a. Beliau adalah Muazzin di zaman Rasulullah SAW, termasuk golongan sahabat yang ikut dalm perang Badar. Nabi SAW telah bersaksi atas penetapannya sebagai ahli surga. Setelah Rasulullah SAW wafat, karena tak kuat menanggung kesedihan hati akan ingatannya kepada Rasulullah SAW, Bilal pindah ke negeri Syam.
Bertahun kemudian Bilal melihat Rasulullah SAW di dalam mimpinya di negeri Syam. Rasulullah berkata, “Kenapa kamu berlaku tidak ramah, wahai Bilal? Bukankah kini telah datang waktunya bagimu untuk menziarahiku?” Maka Bilal bangun dalam keadaan bersedih dan langsung bergegas menuju kota Madinah. ia lalu mendatangi makam Rasulullah SAW dan disana ia menangis.
Sayyidina Hasan dan Husein datang menghampirinya, kemudian Bilal memeluk keduanya. Maka Sayyidina Hasandan Husein berkata, “Kami sangat menginginkan engkau untuk azan di waktu sahur.” Maka demi takzimnya kepada kedua cucu Rasulullah SAW ia naik ke atap masjid. ketika ia menyerukan “Allahu Akbar Allahu Akbar” bergetarlah seluruh kota Madinah. Keluarlah para penduduknya berduyun-duyun ke masjid sambil menangis tersedu-sedu karena suara Bilal mengingatkan mereka pada kehidupan di zaman Rasul. Dan tidak pernah disaksikan hari yang lebih banyak laki-laki dan wanita menangis daripada hari itu.
Seminggu kemudian Bilal wafat.
(Asadul Ghabah, Ibnu Atsir).
10. Mimpi Abul Mawahib Asy-Syadzili r.a. Beliau memiliki nama lengkap Syaikh Muhammad Abul Mawahib Asy-Syadzili, murid dari Syaikh Abu Sa’id Ash-Shafrawi. Beliau adalah seorang ulama besar yang pernah mengajar di Universitas Al Azhar, Mesir. Beliau sering bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw.
Beliau pernah menyatakan: Aku bermimpi melihat Rasulullah saw berada di lantai atas Universitas Al Azhar pada tahun 825 H, lalu beliau meletakkan tangannya di dadaku dan bersabda: “Wahai anakku, ghibah itu haram hukumnya. Tidakkah kau mendengar firman Allah SWT : Janganlah sebagian kamu membicarakan keburukan (ghibah) sebagian yang lain.” Sedangkan disampingku ada beberapa orang yang asyik membicarakan keburukan orang. Kemudian beliau bersabda kepadaku: “Jika kamu tak bisa menghindari untuk mendengar orang-orang berghibah, maka bacalah surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Nas, lalu hadiahkanlah pahalanya kepada orang yang dighibah atau dibicarakan keburukannya itu, karena (mendengarkan) ghibah dan pahala dari bacaan tersebut berimbang.”
Beliau menyatakan bahwa suatu hari beliau terlibat perdebatan di Universitas Al Azhar dengan seseorang atas pernyataan Qasidah Al Burdah karya Imam Bushiri:
Famablaghul ilmi fihi annahu basyarun
Wa annahu khairu khalqillahi kullihimi
Puncak pengetahuan manusia tentangnya: ia adalah seorang manusia
Tetapi sesungguhnya ia adalah makhluk Allah yang terbaik.
Ia mengatakan kepadaku bahwa pernyataan ini tidak memiliki argumentasi. Aku sanggah pernyataannya dan aku katakan bahwa itu telah didasarkan pada ijma’ yang tak dapat dibantah. Tapi ia tetap tak mau menerimanya. Lalu setelah itu aku bermimpi melihat Rasulullah saw bersama Abu Bakar dan Umar sedang duduk di samping mimbar Universitas Al Azhar. Beliau bersabda menyambutku: “Selamat datang kekasih kami.” Kemudian beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata: “Tahukah kalian apa yang telah terjadi hari ini?” “Kami tidak tahu, wahai Rasulullah,” jawab mereka. “Sesungguhnya si fulan yang celaka meyakini bahwa para malaikat lebih utama dariku.” Mereka menyanggah dengan serentak, “Itu tidak benar, wahai Rasulullah!” Lalu Nabi saw berkata kepada mereka: “Kasihan keadaan si fulan yang celaka itu, ia sebenarnya tidak hidup. Sekalipun hidup, ia hidup dalam keadaan ternista dan terhina. Namanya yang terhina membuatnya sempit dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ia meyakini bahwa ijma’ tidak terjadi pada pengutamaanku di atas semua makhluk. Tidakkah ia tahu, bahwa pengingkaran Mu’tazilah kepada Ahlussunah tidak dapat merusak kredibilitas ijma’?
Beliau juga pernah berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw dan aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, Allah bershalawat sepuluh kali kepada orang yang membaca shalawat untukmu satu kali. Apakah itu bagi orang yang menghadirkan hati (khusyu’) dan perasaannya (ta’zhim)? Beliau menjawab: “Tidak. Itu berlaku bagi orang yang membaca shalawat untukku dalam keadaan lalai. Allah akan memberinya anugerah sebesar dan sebanyak gunung-gunung tinggi, yaitu para malaikat akan berdoa dan memohonkan ampun untuknya. Adapun kalau ia membacanya dengan menghadirkan hati (khusyu’) dan penuh rasa hormat (ta’zhim), maka nilai pahala dari bacaan itu tidak bisa dijabarkan kecuali oleh Allah.”
Beliau berkata lagi: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw. Beliau bersabda kepadaku menjelaskan tentang diri beliau yang mulia: “Aku tidaklah mati. Kematian hanyalah sebuah ungkapan bagi ketersembunyianku dari orang yang tidak mendapatkan pemahaman dari Allah. Adapun bagi orang yang telah mendapatkan pemahaman dari Allah, maka inilah aku: aku bisa melihatnya dan ia bisa melihatku.”
Beliau menerangkan, “Siapa yang ingin bermimpi Rasulullah saw, hendaklah ia memperbanyak bersalawat kepadanya siang dan malam, bersama cintanya kepada para Imam yang shalih dan para wali. Jika tidak begitu, maka pintu untuk masuk ke dalam mimpi itu akan ditutup, karena mereka adalah pemimpin manusia, sementara itu Tuhan kita akan murka karena kemurkaan mereka, demikian pula Rasulullah saw.”
(Afdhalish Shalawat Ala Sayyidis Saadat, Yusuf An-Nabhani).
11. Mimpi Ahmad Ibnul Jalla’
Abu Abdullah Ahmad bin Yahya Al Jalla’, asli Baghdad dan pernah tinggal di Ramlah dan Damaskus. Ia termasuk tokoh besar dari kalangan syeikh sufi di Syam. Ia berguru pada Abu Turab, Dzunnun Al Mishri dan Abu Ubaid Al Bishri serta kepada ayahnya sendiri, Yahya Al Jalla’.
Ia berkata, “Pada suatu ketika aku pergi mengembara melintasi gurun dengan bekal yang seadanya. Sampai di kota Madinah, aku telah tidak memiliki apa pun. Aku lalu mendekati makam Rasulullah SAW, lalu berkata, ‘Aku adalah tamu anda, wahai Rasulullah!’ Tiba-tiba aku dilanda kantuk sehingga aku tertidur. Saat tertidur itu aku bermimpi bertemu nabi SAW dan beliau memberiku roti. Roti itu kumakan separuhnya, selanjutnya aku bangun. Ternyata separuh roti yang belum kumakan masih ada di tanganku.”
12.Mimpi Al Fasawi
Ia adalah ulama hadits yang bernama Abu Yusuf Ya’kub bin Sufyan Al Fasawi. Beliau pengarang kitab At-Tarikh dan Al-Masyikhah yang wafat di tahun 277 H.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yazid Atthar, Aku mendengar Ya’kub Al Fasawi berkata, “Aku banyak menyalin hadits di malam hari. Karena kebutuhan makin banyak, dengan terburu-buru aku menulisnya hingga larut malam sehingga mengakibatkan mataku berair dan tak dapat melihat. Hal itu membuatku bersedih, karena hilangnya ilmu dariku dan aku menjadi terasing dari sekitarku. Aku menangis hingga tertidur. Lalu aku bertemu Rasulullah SAW dimana beliau memanggilku: ‘Wahai Ya’kub, kenapa kamu menangis?’ Akumenjawab, “Ya Rasulullah, penglihatanku hilang, sehingga aku sedih tak bisa menulis sunah-sunahmu lagi dan aku terasing dari sekitarku.”
Beliau bersabda, ‘Mendekatlah padaku.’ Maka aku lalu mendekat kepadanya. Lalu beliau mengusapkan tangannya di atas mataku seakan-akan membacakan atas keduanya. Kemudian aku terbangun dan aku dapat melihat, lalu aku mengambil tulisanku dan duduk di depan lampu untuk meneruskannya.”

 (Tarikhul Islam).


Ata' bin Abi rabah berkata, Ibnu Abbas r.a telah bertanya kepadanya, "Mahukah aku tunjukkan kepada engkau seorang perempuan ahli syurga ?"

Jawab Ata, "Bahkan, siapakah perempuan itu ?"

Ibnu Abbas berkata, "Perempuan hitam itu telah menemui Rasulullah s.a.w mengadu ia telah dirasuk."

Sabda Rasulullah s.a.w kepada perempuan itu, "Jika engkau tahan dan sanggup bersabar maka syurga bagimu, sekiranya engkau tidak tahan dan tidak sanggup bersabar aku akan mendoakan engkau supaya engkau pulih segar."


Jawab perempuan itu, "Aku tahan dan sanggup bersabar (maka baginya syurga) sekian tercatat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim. Dari sini dapatlah kita satu keterangan, bahawa penyakit sarak atau rasukan bukanlah ia sesuatu yang baru tetapi telah diketahui sejak zaman berzaman dan zaman Nabi dan sahabat.


Dalam sebuah riwayat menyatakan bahawa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, sedang dia berjalan-jalan dia terpandang seorang anak kecil sedang mengambil wuduk' sambil menangis.

Apabila orang tua itu melihat anak kecil tadi menangis, dia pun berkata, "Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?"

Maka berkata anak kecil itu, "Wahai pak cik saya telah membaca ayat al-Quran sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi, "Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum" yang bermaksud, " Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu." Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka."

Berkata orang tua itu, "Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalam api neraka."

Berkata anak kecil itu, "Wahai pak cik, pak cik adalah orang yang berakal, tidakkah pak cik lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali yang mereka akan letakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka letakkan yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa."


Berkata orang tua itu, sambil menangis, "Sesungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?"

Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik.Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
 
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik. 

Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”

Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.

Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“, maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu hingga engkau mensukurinya??”

Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”. 

Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”. 

Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”. 

Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”. 

Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”. 

Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata,“Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.

Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. 

Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”. 

Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. 
 
Tatkala tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ| (الرعد:24)
“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)

Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai”

Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda dari Kitab Ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, tahqiq As-Sayyid Syarofuddin Ahmad, terbitan Darul Fikr, (jilid 5 halaman 2-5)
Dari Rajâ` bin ‘Umar an-Nakha’iy, dia berkata,
 
“Di Kufah ada seorang pemuda berparas tampan, sangat rajin beribadah dan sungguh-sungguh. Dia juga termasuk salah seorang ahli zuhud. Suatu ketika, dia singgah beberapa waktu di perkampungan kaum Nukha’ lalu –tanpa sengaja- matanya melihat seorang wanita muda mereka yang berparas elok nan rupawan. Ia pun tertarik dengannya dan akalnya melayang-layang kerananya. Rupanya, hal yang sama dialami si wanita tersebut. Pemuda ini kemudian mengirim utusan untuk melamar si wanita kepada ayahnya namun ayah wanita tersebut memberitahukannya bahawa dia telah dijodohkan dengan anak saudaranya (sepupunya). Keadaan ini membuat keduanya begitu tersiksa dan terhiris.

Lalu si wanita mengirim utusan kepada si pemuda ahli ibadah tersebut berisi pesan, ‘Sudah sampai ke telingaku perihal kecintaanmu yang teramat dalam kepadaku dan cobaan ini begitu berat bagiku disertai liputan perasaanku terhadapmu. Jika berkenan, aku akan mengunjungimu atau aku permudah jalan bagimu untuk datang ke rumahku.’ Lantas dia berkata kepada utusannya itu, ‘Dua-duanya tidak akan aku lakukan. Dia kemudian membacakan sepotong ayat dari Al-quran, firman-Nya, ‘Sesungguhnya aku takut siksaan pada hari yang agung jika berbuat maksiat kepada Rabbku.’ (Q.s.,az-Zumar:13) Aku takut api yang lidahnya tidak pernah padam dan jilatannya yang tak pernah diam.’ 

Tatkala si utusan kembali kepada wanita itu, dia lalu menyampaikan apa yang telah dikatakan pemuda tadi, lantas berkatalah si wanita,
‘Sekalipun yang aku lihat darinya dirinya demikian namun rupanya dia juga seorang yang amat zuhud, takut kepada Allah? Demi Allah, tidak ada seorang pun yang merasa dirinya lebih berhak dengan hal ini (rasa takut kepada Allah) dari orang lain. Sesungguhnya para hamba dalam hal ini adalah sama.’ 

Kemudian dia meninggalkan gemerlap dunia, membuang semua hal yang terkait dengannya, mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu (untuk menampakkan kezuhudan) dan fokus dalam ibadah. Sekalipun demikian, dia masih hanyut dan menjadi kurus kering kerana cintanya terhadap si pemuda serta perasaan kasihan terhadapnya hingga akhirnya dia meninggal dunia kerana memendam rasa rindu yang teramat sangat kepadanya. 

 

Sang pemuda tampan pun sering berziarah ke kuburnya. Suatu malam, dia melihat si wanita dalam mimpi seolah dalam penampilan yang amat bagus, seraya berkata kepadanya, ‘Bagaimana khabarmu dan apa yang engkau temukan setelahku.?’ Si wanita menjawab, 
Sebaik-baik cinta, adalah cintamu wahai kekasih 
Cinta yang menggiring kepada kebaikan dan berbuat baik 

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Ke mana kamu akan berada.?’ Dia menjawab, 
Ke kenikmatan dan hidup yang tiada habisnya 
Di syurga nan kekal, milik yang tak pernah punah 

Dia berkata lagi kepadanya, ‘Ingat-ingatlah aku di sana kerana aku tidak pernah melupakanmu.’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, akupun demikian. Aku telah memohon Rabbku, Mawla -ku dan kamu, lantas Dia menolongku atas hal itu dengan kesungguhan.’ Kemudian wanita itupun berpaling. Lantas aku berkata kepadanya, ‘Bila aku akan dapat melihatmu.?’ Dia menjawab, ‘Engkau akan mendatangi kami dalam waktu dekat.’ 

Rupanya benar, pemuda itu tidak hidup lama lagi setelah mimpi itu, hanya tujuh malam. Dan, setelah itu, dia pun menyusul, berpulang ke rahmatullah. Semoga Allah merahmati keduanya. 

(Sumber: al-Maw’id Jannât an-Na’îm karya Ibrâhîm bin ‘Abdullah al-Hâzimy, ha.14-15, sebagai yang dinukilnya dari bukunya yang lain berjudul Man Taraka Syai`an Lillâh ‘Awwadlahullâh Khairan Minhu

Seorang pakar sejarah pernah berkata, "Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya."

Sa’id bin Amir Al-Jumahi adalah seorang anak muda, satu di antara ribuan orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy.

Panggilan ini adalah untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin Adiy, salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang diculik oleh mereka.

Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah membuat Sa'id mendapatkan kedudukan yang lebih daripada orang-orang. Sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.

Ketika rombongan yang garang ini datang dengan tawanannya di tempat yang telah disediakan, Sa’id bin Amir berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban. Dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Izinkan aku untuk shalat dua rakaat sebelum pembunuhanku ini, jika kalian berkenan.”

Kemudian Sa'id memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua rakaat. Alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu. Kemudian ia melihat Khubaib menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak menyangka bahwa aku memperpanjang shalat karena takut mati, tentu aku telah memperbanyak shalat.”

Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup.

Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami, hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satu pun dari mereka."

Kemudian Khubaib bin Adiy menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.

Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya. Namun, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.

Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka. Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua rakaat dengan tenang di depan kayu salib. Dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdoa untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau tersambar petir atau ketiban batu dari langit.

Khubaib telah mengajari Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah akidah dan jihad di Allah hingga akhir hayat. Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemukjizatan.

Dan Khubaib mengajarinya sesuatu yang lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.

Semenjak itu, Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam. Ia lalu berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.

Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Sa'id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah; Abu Bakar dan Umar.

Ia hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang Mukmin yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya. Kedua khalifah itu telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir. Keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memerhatikan pendapatnya.

Pada awal kekhilafahan Umar, Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan."

Maka Umar berkata, "Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Sa’id?”

Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara antara ia dan Allah.”

Setelah itu Umar mengajak Sa’id untuk membantunya. “Wahai Sa’id, kami menugaskan kau sebagai gubernur Himsh,” kata Umar.

Sa'id menjawab, "Wahai Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke dalam fitnah."

Maka Umar pun marah dan berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.”

Kemudian Umar mengangkat Sa'id bin Amir menjadi gubernur di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata Umar.

“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Karena pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi kebutuhanku,” jawab Sa'id. Ia pun berangkat ke Himsh.
Bismillahirrahmaanirrohimm.
Assalamualaikum Wbr.

Peristiwa ini telah lama berlaku, cuma admin hendak berkongsi dengan pengunjung semua supaya apabila kita dapat merasa kehadiran makhluk halus atau dapat melihatnya dengan mata kepala kita sendiri.....maka bertambah-tambahlah keimanan kita kepada Allah SWT. Maha Besar Allah, Segala Puji Bagi Allah yang menjadikan mahkluk dari kalangan Manusia dan Jin.. Sesungguhnya kita bukan sendirian hidup di dunia ini, malah kita dikelilingi oleh makhluk Allah yang lain, yang tidak dapat dilihat dengan mata kasar.


BATU PAHAT : Terkejut, pelik, tergamam dan banyak lagi persoalan yang bermain di fikiran empat sekeluarga yang menghuni rumah di Kampung Desa Penyayang, Sri Medan, apabila ruang rumah mereka dijadikan tempat untuk solat jenazah makhluk halus.

Kejadian berkenaan disedari apabila penghuni rumah berkenaan pulang setelah beberapa ketika mengosongkan kediaman mereka.

Mohd Amin Kamil, 46, berkata, kejadian pelik di rumahnya mula berlaku tiga tahun lalu, apabila isterinya, Rahimah Mohamed, 49, mengemas sejadah yang terbuka.

Katanya, pada mulanya isterinya menganggap anak mereka menunaikan solat dan terlupa melipat sejadah tersebut.

Bagaimanapun anak mereka menafikan dan memberitahu dia belum lagi menunaikan solat.

“Saya dan isteri mula berasa pelik dengan kejadian ini dan membiarkannya sahaja dan tidak berkata apa-apa. Kami beranggapan mungkin ada di antara kami terlupa mengemas sejadah berkenaan.

“Tetapi perkara itu berulang kembali dan ia berlaku tiga kali berturut-turut, di mana kejadian berkenaan berlaku apabila masuknya waktu solat Asar, Maghrib dan juga Isyak.

“Perkara ini juga akan berlaku ketika matahari sedang naik, dan ia hanya berlaku apabila awal Muharam, tetapi kami diamkannya sahaja dan menganggap 'mereka' hanya menumpang solat,” katanya kepada Sinar Harian.

Kain batik lepas terbentang sendiri

Menurut Mohd Amin, bagaimanapun sesuatu mengejutkan berlaku apabila dia pulang sahaja ke rumah Khamis lalu dan mendapati di satu ruang dalam rumahnya terdampar sejadah untuk solat berjemaah.

Katanya, lebih mengejutkan di hadapan sekali dia melihat bantal dan juga kain batik lepas dibentang seperti menutup seorang jenazah.

“Saya terkejut dengan kejadian berkenaan dan bergegas keluar memberitahu isteri.

“Isteri saya memberitahu, sebelum dia keluar, rumah dikunci. Lalu kami teringatkan perkara yang berlaku sebelum ini di rumah.

“Sebelum itu, awal pagi dan sehari sebelum ini, saya mendapati sejadah di rumah kami terbentang seperti selalu. Kami membuat andaian mungkin salah seorang daripada makhluk halus berkenaan telah meninggal dunia,” katanya.

Sebelum ini, katanya, dia berhubung dengan beberapa ustaz dan mereka menyatakan makhluk berkenaan hanya untuk menumpang sahaja dan tidak mengganggu isi rumah.

Sebelum ini katanya, kejadian seumpama ini tidak pernah berlaku walaupun mereka telah mendiami rumah tersebut hampir 19 tahun.
-

Pada zaman dahulu, di sebuah perkampungan yang kecil, tinggallah seorang perempuan bernama Solehah dan anaknya ,Amru yang baru berusia 5 tahun. Suaminya telah meninggal dunia ketika di medan perang. Maka tinggallah Solehah dan anaknya sehelai sepinggan meneruskan kehidupan di sebuah rumah kecil peninggalan suaminya. Kerja solehah sebagai penenun kain menjadikan hidup mereka serba sedikit senang. Dia dan anaknya masih boleh mengisi perut dan menjalani kehidupan walaupun tidak semewah orang lain. Sekurang-kurang mereka tidak perlu mengemis untuk mendapatkan sesuap nasi. Jika ramai orang yang mengupah solehah untuk menenun kain, maka berisi lah perut mereka hari itu , tetapi jika tiada pelanggan, maka mereka terpaksa makan makanan simpanan sebelum ini yang sedikit untuk mengalas perut.Begitulah kerja Solehah yang tidak menentu setiap hari.

Pada suatu hari, tidak ada seorang pun yang datang ke rumah Solehah untuk mengupahnya menenun kain. Nasib baiklah, dia telah menyimpan sedikit roti untuk anaknya.

“Amru sayang, Umi minta maaf sebab hari ini hanya ada sedikit roti untuk amru makan, tapi Umi janji, esok kita makan nasi ya,” Solehah berkata kepada sambil menghulurkan beberapa keping roti untuk Amru.

“Umi, kalau Amru makan roti ni, Umi nak makan apa?” Amru menyoal ibunya yang masih tidak berhenti membelai rambutnya itu.

“Umi tak penting pun Amru. Amru makan kenyang-kenyang ya. Umi tengok Amru kenyang pun Umi rasa dah kenyang. Amru jangan risaukan Umi.” Solehah menjawab soalan Amru yang kelihatan masih setahun jagung itu. Bagi Solehah, dia tidak kisah untuk berlapar. Melihat anaknya ceria dan tersenyum setiap hari, itu sudah cukup membuat hatinya gembira.

“Umi, Amru janji, bila Amru besar nanti, Amru nak bekerja rajin-rajin. Amru nak bagi Umi makan enak-enak.” kata Amru pandai menjaga hati ibunya. Kemudian, dia menyuap sedikit roti ke mulut ibunya itu. Solehah hanya tersenyum dengan gelagat anak kecilnya itu.

Sejak kecil, Amru dididik dan dijaga oleh Solehah sepenuh kasih sayang. Dia diberi didikan agama yang sempurna dan diasuh bagai menatang minyak yang penuh, seekor nyamuk pun tidak dibiarkan hinggap di badan Amru. Baginya, Amru merupakan satu-satunya harta peninggalannya. Setelah beberapa tahun berlalu, Amru telah membesar menjadi seorang pemuda yang segak dan tampan. Solehah pula semakin lama, semakin tua tetapi keringatnya terus jatuh ke bumi mencari nafkah buat keluarganya.Perubahan mendadak ditunjukkan pada sikap Amru. Dia sering keluar untuk bersukaria bersama kawan-kawannya. Dia juga semakin degil dan selalu melawan cakap ibunya. Walaupun disuruh oleh ibunya untuk mencari kerja, tetapi nasihat ibunya yang tua itu langsung tidak diendahkan.Malah Amru sering menengking dan berkasar sehingga membuat ibunya itu terguris.

Solehah tidak tahu mengapa Amru bersikap sedemikian terhadapnya. Dia tidak pernah mengajar anaknya untuk berkasar. Setiap hari, dia berdoa agar tuhan sentiasa melindungi Amru daripada sebarang perkara yang tidak baik. Amru pula, langsung tidak berubah, selalu keluar berfoya-foya dengan kawan-kawannya. Dia akan ke pekan untuk menghabiskan wang yang diberi oleh ibunya untuk melakukan perkara yang tidak senonoh. Duit itu banyak dihabiskannya untuk berjudi.Disebabkan berjudi itu juga, dia selalu dipukul kerana tidak dapat membayar wang yang sepatutnya. Begitulah rutin harian Amru. Dia tidak serik untuk berjudi walaupun tahu akibatnya. Apabila balik ke rumah, badan Amru akan cedera dan luka di sana-sini akibat dipukul. Solehah jugalah orang yang akan merawatnya. Dia menyapu ubat di badan Amru sambil menitiskan air mata melihat anaknya itu. Semahunya, dia tidak ingin perkara itu berlaku pada anak kesayangannya itu.

“Sakitkah anakku? Umi sapu perlahan-lahan ya.Kamu sudah besar Amru. Umi, sudah beberapa kali pesan jangan berkawan dengan orang yang tidak elok akhlaknya. Kamu juga yang susah nanti,” ujar solehah memberi nasihat kepada anaknya itu.Begitulah kata-kata yang sama keluar dari mulut solehah tiap kali merawat Amru. Amru hanya membisu seribu bahasa. Kesakitan yang dialami menutup mulutnya.

Namun Amru tetap tidak berubah. Perangainya masih sama seperti dahulu. Kerap kali keluar ke pekan bersama kawan-kawanya untuk berjudi. Tiap kali dia berjudi tiap kali itu jugalah dia kalah. Nasib langsung tidak menyebelahinya. Dan tiap kali dia kalah tiap kali itu jugalah badannya akan menerima padahnya. Begitulah nasib Amru setiap hari. Nasib baiklah dia mempunyai seorang ibu penyayang yang masih mengambil berat akannya.

Setiap hari seperti biasa amru akan meminta wang daripada ibunya sebelum keluar.

Umi!! Amru nak wang lagi!! Cepatlah Umi, kawan-kawan amru tunggu Amru tu!! Tengking Amru kepada ibunya yang telah tua itu.

“Semua wang Umi sudah habis Amru. Wang semalam ialah wang terakhir dari simpanan Umi. Umi sudah tiada wang untuk diberi kepada Amru.” Jawab solehah pilu. Semua wangnya telah diberi kepada Amru tanpa sempat pun dia membeli sedikit makanan.

“Umi tipu!!! Umi masih ada wang tapi Umi tidak mahu beri pada Amru kan??!!” Tengking amru. Jawapan ibunya itu membuatkannya marah. Kemudian dia terus menggeledah seluruh isi rumah untuk mencari wang. Namun usahanya itu tidak berhasil kerana sekeping wang pun tidak berjaya dijumpai.

“Perempuan tua tak guna!!” Jerit Amru. Dia kemudian menolak ibunya sehingga rebah dan keluar dari rumah dengan perasan yang hampa. Amru benar-benar tertekan kerana jika tiada wang maka tiadalah keseronokan dalam hidupnya.

Di pertengahan jalan, Amru diberhentikan oleh seorang pemuda yang langsung tidak dikenalinya. Pemuda itu kelihatan kaya dengan pakaiannya yang mahal. Amru tidak sedar bahawa pemuda itu sebenarnya adalah syaitan yang menyamar sebagai manusia. Syaitan itu hanya ingin memerangkap amru.Bagi syaitan itu, Amru adalah orang yang sangat mudah diperdaya dengan harta dan wang.

“Apa sebenarnya yang kamu mahu ?” tanya Amru kepada pemuda segak yang berdiri di hadapannya.

“Aku hanya mahu menolong kamu. Bukankah kamu kesempitan wang sekarang? Aku mahu memberi kamu wang yang banyak.” Jawab syaitan itu memperdaya Amru.

“Memberi aku wang yang banyak?!” Amru terperanjat dan gembira.

“Ya. Wang yang banyak. Tapi dengan satu syarat.” Ujar syaitan bijak bermain dengan kata.

“Apakah syarat tersebut. Cakaplah apa yang tuan mahu? Segera juga aku penuhinya.

Syaratnya, bawa hati ibu kamu kepada aku dan wang yang banyak akan menjadi milik kamu.

Tanpa banyak berfikir, Amru terus berlari ke rumahnya. Tanpa belas kasihan amru membunuh menanam,dan mengambil hati ibunya.Ibu yang selama ini menjaga dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ibu yang sanggup berlapar demi anaknya. Ibu yang sanggup bekerja demi mencari sesuap nasi untuk anaknya.Ibu yang selalu merawatnya semasa sakit. Malah, ketika Amru pulang, ibunya sedang menyiapkan masakan kegemaran Amru tanpa terasa sedikit pun akan perbuatan Amru sebelum ini.
Amru sangat gembira kerana dengan hati ibunya itu, dia akan mendapat wang yang banyak. Dia terus berlari untuk mendapatkan pemuda yang berjanji dengannya tadi sambil membawa hati ibunya itu. Semasa berlari keseronokan membayangkan dia akan mendapat wang yang banyak, tanpa disedari Amru tersepak batu lalu terjelopok ke tanah.Dia mengerang kesakitan.

“Sakitkah anakku?” dengan izin Allah,tiba-tiba sahaja hati milik ibunya itu bercakap apabila melihat anak kesayangannya sakit akibat jatuh tersungkur.Dengan penuh kasih sayang hati itu terus bertanya. Soalan tersebut ditanya berulang-ulang kali sehingga membuatkan Amru terperanjat. Tanpa mempedulikan kata-kata hati itu, Amru terus mengambil dan membawanya kepada pemuda yang menyamar sebagai syaitan. Syaitan berasa amat gembira sekali kerana misinya berjaya. Sebagai balasan Amru diberikan wang yang banyak sebagaimana yang telah dijanjikan.

Dengan wang yang banyak itu, Amru meneruskan kehidupannya dengan berjudi. Akhirnya sekelip mata sahaja wang banyak yang diberikan oleh syaitan tadi habis digunakan. Seperti biasa Amru akan dipukul. Apabila balik ke rumah, tiada lagi kedengaran suara bimbang ibunya. Tiada lagi ibunya untuk merawat segala luka-luka di badannya. Tiada lagi ibunya untuk memasak makanan kegemarannya. Tiada lagi ibunya untuk membelai-belai menidurkannya. Akibat sikap Amru yang suka berjudi, rumahnya dijual. Akhirnya Amru menjadi pengemis dan mati di tepi jalan akibat kelaparan.

Begitulah kisah menyayat hati seorang ibu dan anaknya. Kisah kasih sayang ibu kepada anaknya yang tidak berbelah bagi. Kisah pengorbanan seorang ibu. Betapa sayangnya seorang ibu kepada anaknya itu sehingga hati masih mampu berkata-kata, risau melihat anaknya sakit. Kita pula bagaimana? Sayangkah kita pada ibu kita? Pernahkah kita membuat ibu kita menangis? Pernahkah kita bayangkan kanak-kanak yatim piatu yang tidak mempunyai ibu? Bagaimanakah nasib mereka? Kita ni sememangnya bertuah kerana mempunyai ibu. Jadi hargailah ibu anda sebaik-baiknya.

Moga dapat iktibar 
http://www.tengkunizam.com/2011/05/kisah-ibu-dan-anak-yang-menyayat-hati.html

Saudariku sekalian, kali ini aku sengaja mengajakmu untuk lebih menyelami sikap seorang wanita sejati. Sikap yang boleh menjadikan saudari sebagai seorang yang dicintai oleh peribadi yang soleh, juga oleh Allah SWT. 
Dan dalam tulisan ini, kita bahaskan adalah tentang sikap sabar dan setianya isteri Nabi Ayyub AS. Yang tentunya boleh dijadikan sebagai pedoman utama dalam kehidupanmu di dunia ini. Demi kehidupan akhirat yang lebih mulia dan di redoi-Nya
Ceritanya adalah seperti berikut:
Isteri Nabi Ayyub AS yang bernama Layya binti Ya’qub, ada yang mengatakan, Layya binti Mansyar bin Ya’qub. ada lagi yang mengatakan bahawa namanya adalah Rahmah binti Afratsim.
Namun pada hakikatnya, nama isteri Nabi Ayyub AS tidaklah terlalu penting untuk kita ketahui, kerana akan lebih penting mengetahui sikap-sikapnya yang harum mewangi dan abadi sehingga menjadikannya sebagai salah seorang isteri para Nabi yang abadi cintanya dan meninggalkan jejak-jejak cemerlang di dunia wanita-wanita mulia. Namun, saya lebih senang menggunakan nama isteri Nabi Ayyub AS ini sebagai Layya.
Kecintaan isteri Nabi Ayyub AS kepadanya sangatlah terbukti, ketika beliau telah di uji dengan kemiskinan dan kematian anak-anaknya. Allah SWT mendatangkan ujian berat dengan mendatangkan kepadanya sakit selama bertahun-tahun dan tidak sembuh-sembuh. Kaum keluarga, sahabat, kerabat dan para tetangganya menjauhi dan membenci Nabi Ayyub AS, kecuali istrinya, Layya.
Layya banyak memuji Allah, bersyukur, dan menyanjung Allah Ta’ala, kerana Dia memberikannya anak laki-laki dan perempuan yang menyenangkan hati dan mata dan Layya tidak sedih memandang mereka, kerana Allah memberi suaminya kekayaan yang banyak, dan melebihkan beliau di atas seluruh makhluk-Nya.
Layya faham betul bahawa rahsia awetnya sebuah nikmat ialah dengan mensyukurinya. Oleh kerana itu, ia selalu berzikir, memuji Allah, menunaikan hak kepada pemiliknya, membantu hamba-hamba Allah, dan berbuat baik kepada mereka. Dalam semua hal tersebut, Layya bersinar dengan sinar suaminya, Ayyub AS. Layya juga tunduk kepada ujian yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya dan suaminya, Nabi Ayyub AS.
Layya berjaya dalam ujian tersebut berkat pertolongan Allah SWT dan ia telah membuktikan kejujurannya terhadap ujian Allah SWT dan telah menunjukkan kesetiaaannya kepada suaminya dengan tidak berbelah bagi dengan menunjukkan sifat sabar yang tinggi..
Di kisahkan bahawa isteri Nabi Ayyub AS, Layya, sangat menyayangi suaminya dan sedih atas keadaan suaminya. Ketika Layya melihat suaminya berada dalam musibah yang mengambil waktu yang lama namun ia bersyukur dan berserah kepada  kepada Allah SWT, ia mendekat kepada Nabi Ayyub AS dan berkata “Wahai suamiku, engkau adalah orang yang doanya dikabulkan, oleh kerana itu, berdoalah kepada Allah SWT agar Dia menyembuhkanmu!”
Nabi Ayyub AS berkata “Wahai isteriku, aku telah hidup sihat selama 70 tahun, maka aku harus bersabar untuk Allah selama 70 tahun juga”
Ketika Layya mendengar jawaban suaminya yang penuh dengan iman, kepasrahan dan berserah kepada Allah SWT, ia sedih kerananya. Layya melihat suaminya dengan mata hati dan mata kepalanya, bahawa suaminya telah menjadi contoh tentang kesabaran, tunduk kepada qadha dan takdir Allah, serta berserah kepada kehendak Ilahi. Layya tahu bahawa dirinya tidak mungkin sanggup mencapai tahap kedudukan suaminya dengan sifat yang amat sabar. Layya tetap berbuat baik kepada suaminya dan menjaga cintanya, kerana keimanannya kepada Allah SWT dan rasul-Nya, Ayyub AS.
Isterinya tidak henti-hentinya mengurus segala keperluannya, termasuk membantu membuang air. Suatu ketika keadaan isterinya ini  semakin lemah dan kekayaannya semakin berkurangan hingga ia bekerja demi untuk mengubati suaminya, Nabi Ayyub AS. Ia tetap sabar dan tabah dengan peristiwa yang menimpanya dan dengan hilangnya semua kekayaan, serta penderitaan
Untuk mencari rezeki, Layya bekerja memotong roti pada seorang pedagang roti. Setiap petang, dia pulang mendapatkan suaminya, dengan membawa beberapa potong roti yang telah dihadiahkan orang kepadanya. Tetapi setelah orang ramai tahu bahwa Layya itu adalah istri Nabi Ayyub AS, maka pedagang roti itu pun tidak mengizinkannya bekerja lagi sebagai tukang potong roti.
Dalam ketidakpunyaan itu, Layya tetap berjuang mencari pekerjaan untuk penghidupan mereka. Namun setelah berusaha, tidak ada orang yang mau menerimanya bekerja, kerana mereka mengetahui ia adalah isteri Nabi Ayyub AS yang akan mendapat jangkitan dari penyakit Nabi Ayyub AS. Ketika ia tidak mendapatkan seorang pun yang mau menerimanya bekerja, maka ia pun menjual salah satu dari gumpulan rambutnya kepada beberapa puteri orang-orang terhormat untuk di tukar dengan makanan yang enak lagi banyak. Lalu ia membawa makanan itu kepada Nabi Ayyub AS, maka Nabi Ayyub AS bertanya, ”Dari mana kamu dapatkan makanan ini?” dengan menolak untuk memakannya. Lalu istrinya pun menjawab; ”Aku bekerja dengan beberapa orang”
Dan pasa esoknya, ia momohon pada beberapa orang untuk mendapatkan pekerjaaan namun tiada siapa yang sudi menerimanya, lalu ia menjual gumpulan rambutnya yang satu lagi dan menukarnya dengan makanan. Setelah ia membawa makanan kepada Nabi Ayyub AS, Nabi Ayyub AS menolak dan bersumpah tidak akan memakannya sehinggalah isterinya memberitahu dari mana datangnya makanan yang dibawa. Kemudian isterinya membuka penutup kepalanya, dan ketika melihat kepala isterinya tidak berambut, Ayyub AS berucap; “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah di timpa penyakit dan engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Ketika itulah, rahmat Ilahi turun kepada Nabi Ayyub AS dan juga kepada isterinya, Layya, yang menjaganya sepanjang masa dengan  Allah SWT menyembuhkan sakit beliau dan beliau mendapatkan sentuhan Rabbani iaitu sihat sejahtera dan semua yang pernah mereka miliki sebelumnya, telah dikembalikan oleh Allah.
Jadi saudariku, inilah sejarah hidup istri Nabi Ayyub AS. Beliau adalah wanita yang sabar, penuh cinta, ahli ibadah, memuji Allah, bersyukur, dan ditentukan Allah SWT mendapatkan Syurga atas ketaatan dan kesabarannya tersebut.
Sungguh, Allah SWT merahmati Layya, memuliakannya atas semua kesabaran dan kesetiaannya pada suaminya, Nabi Ayyub AS iaitu segala musibah yang dihadapainya
[dari buku: "Ratapan Hidup dalam Kehidupan", karya: Mashudi Antoro]